meta keyword --->

ULASAN MOVIE THE RAID by Tino Saroenggalo



"The Raid" (Gareth Evans, 2011) 

Film laga dengan alur cerita sederhana. Sekelompok aparat keamanan terpilih menyerbu sarang penyamun yang menguasai sebuah gedung di tengah kota besar. Kemudian diketahui bahwa penyerbuan tim kecil ini diprakarsai oleh Letnan Wahyu (Pierre Gruno) yang mengejar jasa, ia bekerja untuk sosok misterius bernama Reza, menangkap hembong penjahat bernama Tama (Ray Sahetapy). Ironinya, ternyata Reza sudah membocorkan rencana penyerbuan ini kepada Tama karena Reza merupakan salah seorang petinggi negeri yang hidupnya dipasok oleh suapan dari dunia hitam.

Secara tersamar, film yang memusatkan diri di sebuah gedung ini mencoba mengangkat realita maraknya kejahatan di Indonesia adalah karena ada petinggi yang sudah "dimiliki" oleh para penjahat. Penjahat berkumpul dalam satu gedung dengan pimpinan yang telengas ini mengingatkan saya pada cerita dalam serial Kungfu Boy dimana ada sekelompok penjahat yang hidup bebas di dalam sebuah gedung di sebuah pulau terpencil.

Di antara tim Letnan Wahyu terdapat seorang anggota baru, Rama (Iko Uwais). 'Anak ingusan' ini bergabung dengan tim tersebut karena ingin menemui kakaknya, Andi (Donny Alamsyah). Kakak yang sudah menghilang bertahun-tahun dari kehidupan keluarganya. Andi menjadi tangan kanan Tama. Selain Andi, Tama juga memiliki Mad Dog (Yayan Ruhian), 'tangan kiri'-nya yang sangat telengas dan jagoan ilmu silat.

Sesederhana itu alur ceritanya. Namun penyajiannya dahsyat!

Ilmu bela diri yang ditampilkan, ilmu silat, sudah kita kenal dan pernah lihat puluhan tahun. Tapi penyajian dalam gerak cepat dan telengas, belum pernah kita lihat sebelumnya. Biasanya ilmu silat ditampilkan dalam gerakan pelan dan dipenuhi dengan jurus kembangannya, bukan inti jurus yang sebenarnya sangat mematikan dan memanfaatkan seluruh anggota tubuh sebagai senjata.

Editing film ini juga sangat rapih. Penampilan setiap efek darah, tampak nyata. Saya bisa bayangkan memar-memar yang dirasakan para pemain setiap kali squib diledakkan di kulit untuk memuncratkan darah. Tim Efek sukses berat dalam memuncratkan darah secara rapih.

Belum lagi kalau kita bicara koreografi perkelahian yang jarak dekat dan gerakan cepat. Tidak tampak seperti koreografi perkelahian, mungkin karena gerakan cepat dan terekam nyaris utuh oleh kamera, tapi pasti karena konon gerakan-gerakan perkelahian ini dilatih selama dua bulan sebelum syuting dimulai. Itulah gunanya latihan.

Kerapihan editing dalam perkelahian 'terasa' sekali dalam adegan perkelahian pamungkas antara Tama dan Andi melawan Mad Dog. Kalau saja saya tidak mengenal Dony Alamsyah yang saya tahu tidak memiliki ilmu bela diri setingkat yang ditampilkan dalam adegan tersebut, saya pasti terkecoh. Pemeran pengganti (stunt double) tidak terlihat sama sekali sosoknya sebagai pengganti. Mungkin karena make up tapi pasti karena koreografi dan penyuntingan yang apik. Hanya ada satu gerakan yang nyaris 'membocorkan' si pemeran pengganti itu.

Dengan hadirnya "The Raid", Gareth Evans telah memperkanalkan ilmu bela diri baru untuk film-film laga dunia yang bisa memuaskan dahaga ketelengasan dalam perkelahian dan darah. Setelah tinju di era film koboi, kungfu era David Chiang (SB Brothers), karate era Chuck Norris, kungfu modern era Bruce Lee, street fighting yang diperkenalkan film The Warriors (Walter Hill, 1979), kick boxing era Jeanne-Claude Van Damme, aikido era Stevan Seagal, capiora dari Brazil, kini kita memasuki era pencak silat Iko Uwais dan Yayan Ruhian.

Wajarlah bila saat ini "The Raid" membuat Hollywood kalang kabut dan langsung mengontrak para petinggi film ini untuk membuat film "The Raid" versi Hollywood... dengan catatan, koreografi perkelahian tetap ditangani oleh Iko Ruwais dan Yayan Ruhian. Selamat untuk tim "The Raid".

Ada satu catatan khusus saya pribadi untuk film "The Raid" ini. Penampilan kelompok parang berwajah Ambon mengingatkan saya pada film tentang perang saudara di Rwanda, baik itu "Hotel Rwanda" (Terry George, 2004) maupun "Sometimes in April" (Raoul Peck, 2005). Itu kalau di film. Dalam kehidupan keseharian, bunyi parang digesekkan ke dinding, mengingatkan saya pada suasana di kota Ambon pada akhir tahun 2000 dan awal tahun 2001.

Yang pasti, mengingat darah dan darah dalam film ini, film ini HARUS ditonton oleh semua penggemar film laga, tidak boleh ditonton oleh remaja apalagi anak kecil.



by Tino Saroenggalo 

Kamu tertarik dengan dunia BROADCAST TV, FILMMAKING, CONTENT CREATORS, MULTIMEDIA, dari kami?
Klik Subscribe untuk update !