meta keyword --->

Wednesday 26 September 2018

Kenapa Film Indonesia Selalu Menarik Digarap oleh Tangan Asing

Kenapa film Indonesia selalu bagus di tangan para sutradara asing (bukan asli indonesia)? Pertanyaan ini terus melingkupi pikiran ini, film-film bagus (baca : mendekati sempurna) selalu lahir dari tangan-tangan kreatif asing. Misalnya awal kemunculan Marantau berlanjut The Raid dan The Raid 2 pun digarap oleh sutradara asing Gareth Evans, garapannya apik dan nyaris tanpa cacat. Apa yang membedakan antara filmmakers dalam hal ini sutradara asing dengan filmmaker lokal. Secara disiplin ilmu sama, mereka melewati tiga tahapan besar dalam penggarapan yakni praproduksi, produksi, dan pascaproduksi. Sekali lagi dimana letak perbedaan itu muncul dan ada.

Saya akan coba bahas sesederhana mungkin agar kamu yang sedang menekuni filmmaker tak lantas surut dan tak mau lagi membuat film. Tahap pertama dan awal dari sebuah proses penggarapan film adalah tahap pra produksi, dan dalam teori manapun menyepakati hingga menjadi konvensi. Bahwa tahapan praproduksi seharusnya melewati hingga 70% di atas kertas atau 60% di atas kertas, sebagai contoh perhatikan jeda pembuatan film Merantau digarap 2009 The Raid digarap 2011 dan The Raid 2 digarap 2014 jeda waktunya cukup lama dari satu film ke film yang lain. Jika 1 judul film digarap dalam kurun waktu 2 tahun maka akan menghabiskan masa praproduksi hingga 1 tahun dan 1 tahun lagi untuk produksi dan untuk pascaproduksi. Film Indonesia dengan sutradara indonesia itu waktu penggarapan kadang hanya memerlukan waktu 1 tahun. Pra hanya 6 bulan dan 6 bulan berikutnya untuk produksi dan pasca. Bagaimana sudah mengertikan?


Bagaimana dengan Mike Wiluan seorang producer and director untuk film Hitman: Agent 47 (2015), Buffalo Boys (2018) dan Beyond Skyline (2017). Ada jeda waktu dari 1 film dengan film yang lainnya cukup 1 tahun. Filmmaker di Indonesia terkadang 1 tahun mereka bisa memproduksi 2-3 film sekaligus. Pun bukan kesalahan mereka, ini memang soal keterbatasan crew produksi yang memang bener-benar handal di bidang film. Kampus dan sekolah film hari ini memang banyak tetapi sedikit sekali melahirkan crew yang memiliki passion yang sesuai.

Berikutnya adalah, ini soal SDM dan Teknologi. Hingga hari ini banyak diantara para filmmaker yang enggan untuk belajar lebih serius menekuni dunia film. Diantara mereka telah merasa cukup bila sudah menguasai satu alat dan kadang mengesampingkan literasi dan referensi. Crew film yang akan bertahan lama adalah crew yang berani update teknologi dan terus belajar sambil mencari referensi sebagai bahan acuan yang akan dipelajari dan diterapkan dalam perkembangan film. Jadi ini soal kesungguhan dalam menggarap film. Mau jadi filmmaker keren dan berbakat berhenti nonton film dengan gaya seadanya semisal kamu hanya mau nonton sinetron atau FTV saja. Sebaiknya literasi audio visual kamu juga mesti dibenahi. Bukan tak boleh menonton sinetron atau FTV, tapi percayalah bahwa penggarapannya tidak seserius film untuk layar lebar. Proses praproduksi, produksi dan pascaproduksi nyaris mereka tak melewatinya dengan baik. Akibatnya apa? Tontonan itu hanya kuat dalam unsur cerita saja, coba telaah lebih dalam tak ada unsur sinematiknya.

Sebagai saran tontonlah film-film yang berjaya di festival-festival film lalu kamu tiru dulu untuk kemudian kamu bisa lakukan penggarapan dengan gaya (cara) sendiri.

Buffalo boys adalah film prototype dengan percampuran antar budaya yakni Jawa, West, dan Amerika. Penggarapannya cukup serius dan hampir di sisi setiap scene bermakna. Latar yang digunakan juga berciri khas Nusantara namun kostum dua buffalo (Suwo dan Jamar) khas Amerika seperti dalam genre film western (koboi), tapi uniknya mereka berdua adalah keturunan sultan. Ia digambarkan baru saja pulang dari Amerika dan kembali ke Nusantara untuk menuntut balas kepada si pembunuh ayahnya (Sultan Hamza). Si pembunuh tersebut ialah orang Belanda yang menjajah Nusantara pun dengan latar serta kostum ala kolonial pada masanya. Sementara dua gadis cantik Kiona – Pevita Pearce dan Sri – Mikha Tambayong berlatar dan berkostum ala Jawa. Perpaduan yang apik terjadi di film Buffalo Boys. Karena film ini bergenre action juga, perkelahian di setiap scene pun nyaris sempurna dengan seluruh gerakan yang apik dan membuat mata ini dimanjakan. Mengenai alur cerita justru menurut saya biasa saja, karena hanya aksi balas dendam atas kematian, ya.. ini sudah lazim dalam film genre action. Yang terpenting bagaimana sang sutradara menyelipkan kalimat-kalimat bijak dalam setiap dialog, agar penonton tidak jenuh dan melulu hanya dicuci otaknya untuk dendam dan dendam kemudian berantem dan berkelahi. Dialog pesan pemikiran sang sutradara saya katakan sampai kepada penonton, sebab ia berhasil menyelipkan kalimat-kalimat bijak dalam filmnya.


Jadi silahkan yang ingin menjadi filmmaker handal atau profesional dan sesuai passion, kamu bisa ikuti saran dan masukan dari saya. Selamat berkarya. Jangan lupa tontonlah film-film yang berkuailitas agar passion-mu berkualitas.

Anton Mahapatih – Sutradara dan Penulis
No comments:
Write komentar

Kamu tertarik dengan dunia BROADCAST TV, FILMMAKING, CONTENT CREATORS, MULTIMEDIA, dari kami?
Klik Subscribe untuk update !