Kesuksesan film-film buatan dalam negeri seolah sedang mengalami pasang yang tinggi. Berbagai jenis tema film diproduksi terlepas dari dua unsur pembangun film yakni sinematik dan naratif. Dua unsur tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi para calon sineas atau bahkan telah menjadi sineas.
Ada beberapa film yang diproduksi hanya kuat dinaratifnya saja ada pula yang hanya kuat di sinematiknya saja, keduanya sah-sah saja menjadi karya seni audio visual dan patut untuk kita apresiasikan. Unsur naratif dalam film sering disebut dengan unsur cerita itu sendiri, dia lepas dari teknik pengambilan gambar, gaya editing, pencahayaan dan lain-lain. Naratif bertutur selayaknya sebuah cerita yang mengalir seperti air, ikuti dari hulu sampai hilir dari masalah sampai penyelasaian masalah. Tentu dengan bermacam lekuk cerita atau halangan cerita, mengalir hingga selesai (happy ending, sad ending atau open ending). Itu semua tergantung dari bagaimana Sutradara menyampaikan pemikirannya. Unsur naratif juga paling mudah untuk diterapkan pada saat produksi, karena ia lepas dari unsur sinematik.
Sinematik dalam film terkadang juga beriri sendiri, jenis film yang kuat diunsur sinematik biasa disebut dengan film art (ekperimental). Unsur naratif dalam film art terkadang hanya dapat dimengerti oleh si pembuat sendiri atau para penyuka film jenis tersebut. Di Indonesia penyuka jenis film ini tidak banyak. Unsur sinematik dalam film itu sering disebut dengen mise-en-scene terdiri dari empat aspek utama, yakni:
Setting (latar)
Kostum dan tata rias wajah (make-up)
Pencahayaan (lighting)
Para pemain dan pergerakannya (akting)
Dan unsur pembangun yang lain seperti audio dan editing juga masuk dalam unsur sinematik. Sinematik berdiri pada sisi teknis dan kecakapan seorang Sutradara dalam menyampaikan ide/pemikirannya. Kamampuan sinematik inilah yang sering disebut kemampuan teknik. Banyak para filmmaker bermunculan di panggung industri film nasional, tak sedikit pula mereka yang hanya tahu bagaimana membuat cerita saja, tetapi dia tidak mampu menerjemahkannya ke dalam visual secara apik dan kolaboratif antara naratif dan sinematik. Baca : Bagaimana Menciptakan Gambar Sinematik.
Bercermin pada itu semua, hari ini film DILAN mencapai jumlah penonton yang fantastis. 5 juta penonton dalam waktu 17 hari (dua minggu lebih). Apa yang menjadi daya tarik dari film tersebut, tak lain tak bukan adalah dari dua unsur yang terdapat dalam film tersebut. Yakni unsur naratif dan sinematik. Apakah kesuksesan ini harus diulang? Tentu, tetapi harus dengan cerita dan tema yang berbeda agar film Indonesia mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Jangan sampai seperti sinetron kita, yang hari ini sejak era awal perkembangannya di tahun 90an sampai saat ini telah mengalami kejenuhan yang luar biasa. Bahkan cenderung stag.
Sinetron di awal perkembangannya sebenarnya saat itu bertujuan mengisi industri hiburan kita. Di mana film di era 90an cenderung lesu bahkan nyaris tak ada produksi hingga berakhir tahun 2001 yakni dengan mulainya film Kuldesak berlanjut ke Petualangan Sherina dan selanjutnya di tahun berikutnya Ada Apa Dengan Cinta. Sinetron kependekan dari sinema elektronik, bertujuan memasukkan film (sinema) ke dalam dunia televisi. Dan apa yang terjadi dalam perkembangannya, sinetron lebih memilih unsur naratif ketimbang unsur sinematik. Cerita yang dibangun dalam sinetron sangat kuat, tetapi banyak kefatalan diteknik produksinya. Itu akibat mereka filmmaker hanya mengutamakan yang penting nyambung ceritanya, lalu unsur sinematik yang mereka korbankan.
Hingga akhirnya muncullah FTV sebagai rasa ketidakpuasan para sineas berikutnya, sebab dalam penggarapan sinetron banyak cacat visual dan cacat audio. FTV pun di tahun-tahun awal tayangnya yakni tahun 2000an menjadi hal baru dalam dunia film yang masuk ke televisi. Belakangan FTV juga mengalami yang sama seperti sinetron kita, kuat naratif miskin sinematik. Tahun 2010an muncullah yang disebut dengan FTV Plus sebagai ekspresi rasa tidak puas para filmmaker dalam menyajikan film ke layar kaca atau televisi. FTV Plus kecenderungannya kuat di naratif dan sinematik.
Apakah lalu kemudian film nasional hari ini akan bernasib seperti sinetron, dengan monotonnya tema dan cerita ataukah sebaliknya? Sebenarnya bila PH dan Produser film rela memberi peluang bagi para filmmaker berprestasi dan kreatif, maka film hari ini dan mendatang akan makin berkualitas. Bukan tidak mungkin film Indonesia akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sinetron kita gagal karena temanya monoton, karena adanya monopoli penulis skenario, karena Produser tidak percaya pada filmmaker pendatang baru dan karena kita sebagai penonton tidak kritis terhadap yang terjadi.
Salam kreatif. Majulah film Indonesia
Anton Mabruri KN | Penulis, Filmmaker, Praktisi Broadcast tv
Ada beberapa film yang diproduksi hanya kuat dinaratifnya saja ada pula yang hanya kuat di sinematiknya saja, keduanya sah-sah saja menjadi karya seni audio visual dan patut untuk kita apresiasikan. Unsur naratif dalam film sering disebut dengan unsur cerita itu sendiri, dia lepas dari teknik pengambilan gambar, gaya editing, pencahayaan dan lain-lain. Naratif bertutur selayaknya sebuah cerita yang mengalir seperti air, ikuti dari hulu sampai hilir dari masalah sampai penyelasaian masalah. Tentu dengan bermacam lekuk cerita atau halangan cerita, mengalir hingga selesai (happy ending, sad ending atau open ending). Itu semua tergantung dari bagaimana Sutradara menyampaikan pemikirannya. Unsur naratif juga paling mudah untuk diterapkan pada saat produksi, karena ia lepas dari unsur sinematik.
Sinematik dalam film terkadang juga beriri sendiri, jenis film yang kuat diunsur sinematik biasa disebut dengan film art (ekperimental). Unsur naratif dalam film art terkadang hanya dapat dimengerti oleh si pembuat sendiri atau para penyuka film jenis tersebut. Di Indonesia penyuka jenis film ini tidak banyak. Unsur sinematik dalam film itu sering disebut dengen mise-en-scene terdiri dari empat aspek utama, yakni:
Setting (latar)
Kostum dan tata rias wajah (make-up)
Pencahayaan (lighting)
Para pemain dan pergerakannya (akting)
Dan unsur pembangun yang lain seperti audio dan editing juga masuk dalam unsur sinematik. Sinematik berdiri pada sisi teknis dan kecakapan seorang Sutradara dalam menyampaikan ide/pemikirannya. Kamampuan sinematik inilah yang sering disebut kemampuan teknik. Banyak para filmmaker bermunculan di panggung industri film nasional, tak sedikit pula mereka yang hanya tahu bagaimana membuat cerita saja, tetapi dia tidak mampu menerjemahkannya ke dalam visual secara apik dan kolaboratif antara naratif dan sinematik. Baca : Bagaimana Menciptakan Gambar Sinematik.
Bercermin pada itu semua, hari ini film DILAN mencapai jumlah penonton yang fantastis. 5 juta penonton dalam waktu 17 hari (dua minggu lebih). Apa yang menjadi daya tarik dari film tersebut, tak lain tak bukan adalah dari dua unsur yang terdapat dalam film tersebut. Yakni unsur naratif dan sinematik. Apakah kesuksesan ini harus diulang? Tentu, tetapi harus dengan cerita dan tema yang berbeda agar film Indonesia mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Jangan sampai seperti sinetron kita, yang hari ini sejak era awal perkembangannya di tahun 90an sampai saat ini telah mengalami kejenuhan yang luar biasa. Bahkan cenderung stag.
Sinetron di awal perkembangannya sebenarnya saat itu bertujuan mengisi industri hiburan kita. Di mana film di era 90an cenderung lesu bahkan nyaris tak ada produksi hingga berakhir tahun 2001 yakni dengan mulainya film Kuldesak berlanjut ke Petualangan Sherina dan selanjutnya di tahun berikutnya Ada Apa Dengan Cinta. Sinetron kependekan dari sinema elektronik, bertujuan memasukkan film (sinema) ke dalam dunia televisi. Dan apa yang terjadi dalam perkembangannya, sinetron lebih memilih unsur naratif ketimbang unsur sinematik. Cerita yang dibangun dalam sinetron sangat kuat, tetapi banyak kefatalan diteknik produksinya. Itu akibat mereka filmmaker hanya mengutamakan yang penting nyambung ceritanya, lalu unsur sinematik yang mereka korbankan.
Hingga akhirnya muncullah FTV sebagai rasa ketidakpuasan para sineas berikutnya, sebab dalam penggarapan sinetron banyak cacat visual dan cacat audio. FTV pun di tahun-tahun awal tayangnya yakni tahun 2000an menjadi hal baru dalam dunia film yang masuk ke televisi. Belakangan FTV juga mengalami yang sama seperti sinetron kita, kuat naratif miskin sinematik. Tahun 2010an muncullah yang disebut dengan FTV Plus sebagai ekspresi rasa tidak puas para filmmaker dalam menyajikan film ke layar kaca atau televisi. FTV Plus kecenderungannya kuat di naratif dan sinematik.
Apakah lalu kemudian film nasional hari ini akan bernasib seperti sinetron, dengan monotonnya tema dan cerita ataukah sebaliknya? Sebenarnya bila PH dan Produser film rela memberi peluang bagi para filmmaker berprestasi dan kreatif, maka film hari ini dan mendatang akan makin berkualitas. Bukan tidak mungkin film Indonesia akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sinetron kita gagal karena temanya monoton, karena adanya monopoli penulis skenario, karena Produser tidak percaya pada filmmaker pendatang baru dan karena kita sebagai penonton tidak kritis terhadap yang terjadi.
Salam kreatif. Majulah film Indonesia
Anton Mabruri KN | Penulis, Filmmaker, Praktisi Broadcast tv
No comments:
Write komentar